Sekilasberita86.com — Indramayu — Suatu siang yang lengang di Desa Druntenkulon, Kecamatan Gabuswetan, WR duduk bersandar di dinding rumahnya. Tangan kanannya kaku, tak lagi bisa digerakkan. Stroke ringan yang ia derita membuatnya tak mampu melakukan aktivitas seperti dulu—bahkan untuk makan dan berjalan pun kini harus perlahan dan penuh kehati-hatian.
WR, 64 tahun, adalah salah satu Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang dulu menerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Bantuan itu adalah satu-satunya harapan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan menyekolahkan anak bungsunya. Tapi sejak diberlakukannya sistem baru Data Terpadu Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), semuanya berubah.
“Sekarang di ATM KKS saya kosong. Dulu masih dapat BPNT dan PKH. Sekarang jangankan PKH, buat beli beras saja sudah bingung,” tutur WR dengan suara yang nyaris tak terdengar Jum’at, 20 Juni 2025
Rumah WR memang tampak rapi dari luar. Keramik menutup lantai rumah mungilnya, hasil dari putri sulungnya yang kini telah berkeluarga. Tapi di balik tembok rumah itu, kehidupan WR jauh dari kata sejahtera. Setelah istri meninggal, ia harus berjuang sendirian mengurus anak bungsunya yang masih sekolah. Anak-anak yang lain sudah punya keluarga sendiri, tak bisa selalu hadir untuk membantunya.
“Kalau saya sehat, mungkin saya tidak minta bantuan. Tapi tangan kanan dan kaki saya sudah tak bisa dipakai. Untuk jalan pun sulit. Bagaimana saya bisa cari uang?” ujarnya lirih, dengan mata berkaca-kaca.
WR berharap petugas yang mendata bisa lebih jeli dan manusiawi. “Jangan hanya lihat dari luarnya saja. Rumah memang berkeramik, tapi hidup saya tidak semanis lantainya. Lihatlah kehidupan kami sehari-hari. Saya ini benar-benar tidak bisa bekerja,” tegasnya.
Kisah WR bukan satu-satunya. Di wilayah Indramayu, perubahan sistem data dari DTKS ke DTSEN telah menimbulkan kegelisahan baru bagi masyarakat kurang mampu. Banyak dari mereka yang dulu masuk daftar penerima bantuan, kini tiba-tiba hilang dari sistem. Tak ada penjelasan, tak ada sosialisasi, hanya ketidakpastian yang tersisa.
“Saya selalu berharap bantuan dari pemerintah. Tapi setelah divalidasi malah tidak dapat. Ini salah siapa? Pemerintah pusat atau petugas di lapangan?” WR bertanya, menggantungkan harapan yang belum juga terjawab.
Di tengah upaya pemerintah membangun sistem data yang lebih mutakhir, kisah seperti WR menyadarkan kita: kemiskinan tidak bisa dilihat dari lantai keramik, dan penderitaan tidak selalu tercermin dalam angka statistik.
Ketika bantuan sosial tak lagi hadir, yang tertinggal hanyalah manusia-manusia rentan yang berjuang sendiri di tengah sunyi, menanti tangan negara kembali menjangkau mereka.