Sekilasberita86.com – Indramayu – Sengketa tanah di Desa Karangsong, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, kembali menyita perhatian publik setelah seorang kakek menggugat cucu kandungnya sendiri ke Pengadilan Negeri (PN) Indramayu. Perkara ini menjadi viral di media sosial dan menimbulkan pro-kontra di masyarakat.
Kakek Kadi (76), yang kini tinggal di rumah sederhana di bantaran Sungai Cimanuk, Desa Sindang, akhirnya angkat bicara kepada media, Senin (7/7). Dalam keterangannya, ia mengaku sangat terpukul harus membawa perkara ini ke ranah hukum, namun merasa tidak memiliki pilihan lain demi mempertahankan hak atas tanah yang ia klaim sebagai miliknya secara sah.
“Demi cucu, saya mengalah tinggal di bantaran sungai. Tapi saat saya ingin kembali menempati tanah yang saya beli, malah dihadang cucu sendiri. Saya sudah tua, kalau tanah ini digusur pemerintah, saya dan istri tidak tahu harus tinggal di mana,” ujar Kakek Kadi dengan mata berkaca-kaca.
Kakek Kadi menjelaskan, tanah yang disengketakan berada di Blok Wanasari, Desa Karangsong. Ia menyebutkan, lahan seluas 162 meter persegi itu dibelinya pada tahun 2008 seharga Rp50 juta dari hasil penjualan dua petak empang miliknya. Sertifikat atas tanah tersebut, kata dia, terdaftar atas nama dirinya dan istrinya, Narti (73), bukan atas nama anak atau cucu.
Tanah itu kini ditempati oleh dua cucunya, Heryatno (20) dan ZK (12), serta mantan menantunya, Rastiah (37), janda dari almarhum Suparto—anak tiri Kakek Kadi yang telah dirawat sejak kecil dan telah dianggap seperti anak kandung.
“Saya kecewa. Heryatno yang saya besarkan sejak bayi, sekarang justru melawan. Bahkan, saat saya hendak meratakan tanah itu dengan urugan merah, dia bilang jangan berani sebelum ada putusan pengadilan,” ucapnya.
Menurut Kadi, dirinya memilih jalur hukum setelah semua upaya kekeluargaan mentok. Ia merasa terusik ketika pihak cucunya justru membicarakan masalah ini di media sosial hingga akhirnya menarik perhatian publik dan bahkan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi.
Versi Berbeda dari Keluarga Cucu
Di sisi lain, versi berbeda datang dari pihak cucu. Dalam laporan sebelumnya, diketahui bahwa keluarga ZK telah menempati tanah tersebut sejak tahun 2009, ketika almarhum Suparto masih hidup. Di atas tanah itu, Suparto membangun rumah permanen yang juga difungsikan sebagai tempat usaha kuliner karena letaknya yang strategis dekat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangsong.
Tokoh masyarakat Karangsong, Warhadi, mengungkapkan bahwa gugatan baru muncul beberapa hari setelah Suparto meninggal dunia pada Juli 2024. Padahal, selama Suparto hidup, tidak pernah ada permasalahan soal kepemilikan lahan.
“Tiga hari setelah Suparto wafat, kakek dan nenek datang meminta rumah dikosongkan. Karena tidak ada kesepakatan, akhirnya gugatan dilayangkan,” terang Warhadi, Sabtu (6/7).
Menurut penelusuran, tanah tersebut dibeli dengan dana campuran. Pihak keluarga ZK mengklaim bahwa almarhum Suparto membeli tanah itu pada 2008 seharga Rp35 juta, dengan kontribusi dana dari ayahnya, Kadi, sebesar Rp23 juta. Bangunan rumah dibangun kemudian dengan biaya sendiri mencapai ratusan juta rupiah.
Heryatno menyatakan terbuka terhadap penyelesaian damai. Ia bahkan menyebut telah menawarkan dua opsi: mengganti dana pembelian tanah yang dulu dikucurkan kakek, atau meminta kakek mengganti nilai bangunan yang telah mereka dirikan.
“Kami tidak mau berkonflik. Kalau memang harus pindah, tolong dihargai bangunan yang sudah kami bangun. Kami terbuka untuk damai,” ujarnya.
Proses Hukum dan Harapan Mediasi
Juru Bicara PN Indramayu, Adrian Anju Purba, membenarkan adanya perkara perdata yang terdaftar dengan nomor 34/Pdt.G/2025/PN Idm. Sidang pertama telah digelar pada 2 Juli 2025, namun ditunda karena tergugat ZK masih di bawah umur dan belum dihadirkan di persidangan.
“Agenda sidang akan dilanjutkan pada 16 Juli 2025 dengan pramediasi. Kami terbuka jika tergugat memerlukan pendampingan dari lembaga seperti KPAI,” jelas Adrian.
Kasus ini menjadi perhatian luas karena menyangkut konflik keluarga, perlindungan terhadap anak, serta kepekaan sosial atas kondisi keluarga yatim yang terlibat. Banyak pihak berharap, proses mediasi dapat menjadi jalan damai agar perkara ini tidak hanya diselesaikan secara hukum, tetapi juga dengan hati nurani dan nilai kekeluargaan.