Solok – SekilasBerita86.com, Sumatera Barat | Sejak dua bulan lalu hingga hari ini Sabtu (18/10/2025), tanpa tindakan nyata berantas aktivitas pertambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah kecamatan Tigo Lurah dan Hiliran Gumanti kabupaten Solok, Polres Arosuka – Polda Sumatera Barat.
Dinilai Kapolres Arosuka, bukan karena tidak mampu berantas PETI, namun dirinya sering memilih untuk meminta wartawan menjumpainya perihal konfirmasi aktivitas PETI yang menggunakan ratusan unit Escavator beroperasi di wilayah kabupaten Solok.
Selain itu, Janji Kapolda Sumbar untuk memberantas aktivitas PETI tersebut seolah tidak berarti apa-apa di wilayah hukum Polres Solok. Pasalnya, hingga kini aktivitas tambang ilegal justru semakin menggila, dan para pelaku kian leluasa beroperasi seakan kebal terhadap hukum.
Berdasarkan pantauan dan informasi lapangan yang dihimpun awak media selama dua bulan ini dan kegiatan PETI tersebut hingga hari ini tanpa tindakan nyata dan masih marak di sejumlah kecamatan, seperti Hilir Gumanti, Payung Sekaki, dan Tigo Lurah. Bahkan, penggunaan alat berat di lokasi tambang terus berlangsung tanpa hambatan dari aparat penegak hukum.
Di Kecamatan Tigo Lurah, tercatat sedikitnya 90 unit eskavator seperti di wilayah Nagari Sumanau dan Sumiso.
Sementara di Nagari Supayang, Jorong Rumah Gadang, terdapat 8 unit, dan di Nagari Aia Luo, aktivitas mencapai 14 unit—masing-masing 7 unit di Jorong Kipek dan 7 unit lainnya di jorong sekitarnya. Aktivitas serupa juga di Hilir Gumanti dan Payung Sekaki, dengan jumlah alat berat yang tak kalah mencengangkan.
Keberadaan aktivitas PETI yang masif ini memunculkan tanda tanya besar: di mana peran Polres Solok?
Alih-alih menumpas tambang ilegal hingga ke akar, aparat justru dinilai tutup mata dan membiarkan kegiatan ilegal itu berjalan. Dugaan keterlibatan oknum aparat dalam melindungi. kegiatan tambang pun tak lagi menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat wilayah kabupaten Solok
> “Bagus jangan di-post lagi bang, razia itu cuma pencitraan. Yang punya ‘payung’ aman, yang nggak punya langsung dirazia,” ujar salah seorang warga melalui komentar media sosial dengan nada kecewa.
Komentar tersebut mencerminkan keresahan publik yang merasa penegakan hukum di Kabupaten Solok tebang pilih dan tidak berkeadilan. Penindakan yang dilakukan pun hanya bersifat seremonial tanpa efek jera. Setiap kali operasi digelar, pelaku sudah lebih dulu menghilang, menyisakan alat dan lokasi bekas aktivitas yang masih basah—indikasi kuat adanya kebocoran informasi dari dalam.
Ironisnya, setelah aparat meninggalkan lokasi, para pelaku justru kembali beroperasi seperti biasa. Pola berulang ini memperlihatkan bahwa upaya pemberantasan PETI di Kabupaten Solok hanya sebatas sandiwara hukum.
Lebih memalukan lagi, muncul dugaan adanya pungutan liar (pungli) yang dilakukan sejumlah oknum dengan dalih “koordinasi keamanan”. Nilainya disebut puluhan juta rupiah setiap unit excavator untuk aktivitas PETI, memperkuat dugaan bahwa praktik tambang ilegal telah menjelma menjadi ladang bisnis gelap yang melibatkan pihak berwenang.
Publik menuntut Kapolda Sumbar untuk mengevaluasi kinerja Kapolres Solok yang dinilai gagal total dalam menegakkan perintah dan komitmen pemberantasan PETI.
Kegagalan ini bukan hanya mencoreng nama institusi Polri, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
> “Kalau penegakan hukum hanya formalitas dan tebang pilih, jangan salahkan masyarakat kalau menilai polisi ikut bermain,” sindir salah satu aktivis lingkungan Sumatera Barat.
Kini, masyarakat Kabupaten Solok hanya bisa berharap agar Kapolda Sumbar turun tangan langsung melakukan investigasi menyeluruh terhadap dugaan keterlibatan oknum aparat yang bermain dalam bisnis kotor ini.
Tanpa langkah tegas dan nyata, tambang emas ilegal di kabupaten Solok tidak akan pernah hilang—justru semakin tumbuh subur di bawah bayang-bayang pelindung berseragam.
#NoViralNoJustice#
#GubernurSumbar#
#MabesPolri#
#PanglimaTni#
#PoldaSumbar#
Bersambung…