Sidoarjo – Sekilasberita86.com-Praktik jual beli Lembar Kerja Siswa (LKS) kembali menjadi sorotan. Kali ini, keluhan datang dari orang tua murid di SDN Sidokerto, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo. Mereka merasa terbebani oleh kewajiban membeli buku LKS yang seharusnya tidak diperjualbelikan di sekolah.
Berdasarkan hasil konfirmasi tim media kepada beberapa wali murid kelas 2 dan kelas 5, diperoleh informasi bahwa praktik jual beli buku LKS di sekolah tersebut masih terus terjadi. Ironisnya, penjualan buku tersebut tidak dilakukan secara langsung oleh guru, namun melalui koperasi sekolah, bahkan diduga melibatkan oknum petugas kebersihan, seolah-olah guru tidak terlibat dalam praktik tersebut.
Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 181, serta Permendikbud Nomor 75 Tahun 2020 tentang Komite Sekolah, guru dan sekolah dilarang melakukan penjualan buku pelajaran, termasuk LKS, kepada siswa. Penyediaan buku seharusnya telah ditanggung oleh dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang disalurkan pemerintah ke sekolah.
Namun kenyataannya, praktik ini seolah dibiarkan tanpa ada tindakan tegas dari pihak terkait. Meskipun Dinas Pendidikan di berbagai daerah telah mengeluarkan surat edaran larangan, implementasinya di lapangan nyaris tidak terlihat. Tak jarang, dinas berdalih tidak menerima laporan resmi, padahal praktik jual beli buku ini sudah menjadi rahasia umum.
Tim kami mencium adanya dugaan persekongkolan antara pihak penerbit, kepala sekolah, dan oknum dinas pendidikan, sehingga praktik ini terus berulang dan sulit diberantas. Bahkan beberapa oknum guru diduga mencari cara untuk tetap menjual LKS secara terselubung, dengan mengarahkan orang tua membeli melalui koperasi sekolah atau paguyuban kelas.
Beban Finansial Wali Murid Itu pasti.
Orang tua murid mengaku keberatan atas pembelian LKS yang harganya tidak murah. Untuk siswa kelas 2 SD, harga buku LKS dibanderol antara Rp210.000 hingga Rp330.000 per paket. Nominal yang hampir sama juga dikenakan kepada siswa kelas lainnya. Hal ini sangat memberatkan, terutama bagi wali murid dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang pembelajaran yang bebas dari praktik komersialisasi. Namun realitanya, sekolah justru menjadi tempat subur praktik jual beli yang tidak semestinya terjadi.
Temuan ini akan kami terus telusuri hingga ada kepastian hukum. Kami juga mengimbau kepada orang tua dan masyarakat untuk tidak ragu melaporkan praktik jual beli LKS kepada Dinas Pendidikan setempat, sebagai bentuk kontrol sosial agar peraturan dijalankan secara konsekuen.
Orang tua murid berhak menolak pembelian LKS, karena penyediaan buku pelajaran sudah menjadi tanggung jawab sekolah melalui dana BOS. Kami berharap ke depan tidak ada lagi praktik yang melanggar hukum ini, demi menciptakan sistem pendidikan yang adil, jujur, dan berpihak kepada kepentingan siswa dan orang tua.
(Red/Tiim )